Senin, 19 Oktober 2015

OMNIPRESENCE

Sabtu lalu persekutuan komisi pemuda di gereja gue membahas tema yaitu tentang Omnipresence, yang kurang lebih artinya Allah Maha Hadir, tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Gue sangat meng-amin-i itu.
Ijinkan gue sharing pengalaman pribadi gue yang bisa gue kaitkan dengan Omnipresence ini.

Terus terang gue itu bergumul dengan yang namanya "kelayakkan". Ketika gue melihat hidup gue yang kadang ada drama, kesel, marah, gak sabar, dlsb gue langsung merasa diri hina banget. Gue rasa gak layak banget mengerjakan pelayanan gue saat ini.

Faktor itu muncul gak cuma dari dalam diri gue sendiri, tapi ada bumbu juga dari orang lain. Saat ini gereja gue lagi prepare Natal, gue dipercayakan sebagai PIC untuk Kebaktian Terang Lilin 24 Desember 2015. Tugas sebagai PIC cukup banyak. Pernah suatu hari gue bilang ke seseorang "Duh pusing nih" (menyangkut persiapan Natal ini). Terus orang itu langsung bilang "Ah kamu mah ngeluh mulu, gak ada kerjaan juga gak enak tau". Agak nancep sih itu kata-katanya.

Sebenernya buat orang-orang yang kenal gue cukup lama, kata "pusing" itu bakalan sering banget di denger.
Gue juga heran mulut gue kayanya udah lata untuk ngucapin kata itu.
Hal sepele aja gue sisipin kata pusing, misalnya mau ke kondangan sendiri aja gue bisa bilang "aduh pusing nih entar kondangan sendirian". Jadi kata pusing itu bagi gue udah bukan makna sebenernya tapi kayanya udah jadi majas hiperbola.
Cuma kata-kata dari seseorang diatas tadi itu menambah rasa gak layak gue di hadapan Tuhan.

Pernah dulu pas lagi di masa suram gue, temen Komisi Pemuda (Kape) gue yaitu Rino membagikan lewat email jadwal pelayanan Kape untuk 3 bulan. Gue sampe minta ke Rino untuk revisi jadwal yang ada nama guenya. Gue minta jangan dimasukkan dalam jadwal pelayanan dulu. Mungkin dia kesel juga kali ya, karena bikin jadwal kan gak mudah, apalagi untuk kasus seperti di gereja gue dimana pelayannya itu terbatas jumlahnya.
Gak dipungkiri selama gue gak melayani, gue rasa kangeeeeeeennn banget pelayanan bareng temen-temen gue, gue ngerasa ada yang hilang.

Gue percaya Tuhan bisa bersuara/menegur kita melalui apapun, contoh yang gue ambil yaitu Firman Tuhan yang kita dengar dan buku yang kita baca. Yah masih banyak lagi sih. Bisa melalui kecelakaan juga, nasihat sahabat, dlsb deh.

Hari Minggu, 18 Oktober 2015 GI. Michele dalam kotbahnya di Kebaktian Umum dia menyinggung soal kelayakkan. Kita memang manusia yang tidak layak, tapi kita jangan lupa kalau Allah sudah mengutus anakNya yaitu Yesus Kristus untuk menebus kita, kita yang tidak layak ini sudah mengalami penebusan dari Allah Bapa melalui Yesus Kristus, sehingga hubungan kita dengan Allah boleh dipulihkan kembali. Jadi janganlah kita terus berkutat dengan perasaan tidak layak dan tidak melakukan apa-apa, tapi kita harus bangkit, dengan rendah hati terus melayani Dia. Hmm begitu kurang lebih isi pesannya.


Malamnya gue baca buku “Seumur Hidup aku Sekolah” sebuah buku yang ditulis oleh ka Godlif Christian Poeh dari GKY VTI. Gue kenal beliau karena kita pernah 1 kepanitiaan retreat Kape se-sinode GKY, beliau jadi ketua panitia, gue jadi Sie. P3K yang membantu Sie. Acara. Sie.acara itu kan banyak pertemuan diluar rapat pleno, jadi sering ketemu beliau dimana sebagai ketua panitia ikut hadir dalam rapat acara, makanya jadi akrab deh.
Buku tersebut menuliskan tentang refleksi pengalaman-pengalaman pribadinya dengan Tuhan. Dia juga ada menuliskan tentang pengalaman retreat kita loh. Dia terberkati mengenal tim panitia lainnya. Ada nama gue juga disebut, karena gue panitia termuda di Sie. Acara, dia menuliskan kesannya Anis yang “paling tua” diantara sie.acara selalu memberikan kesegaran lewat keceriaanya yang diselimuti dengan ide-ide baru yang juga menyegarkan. Ini membuat gue bersyukur juga dikasih kesempatan sama Tuhan punya pengalaman sebagai panitia retreat ini.
Okeh sorry malah bahas tentang retreat hehe. Lanjut yaa..

Jadi gini, pas sampe di bab “GADO-GADO HATI” gue mengutip bagian BOM WAKTU dimana tertulis Rasa tidak layak juga kadang menjadi hal yang menghambat diri kita untuk bersekutu dengan Dia. Orang sakit yang membutuhkan dokter bukan orang sehat. Persekutuan apapun bentuknya bukanlah kumpulan orang sehat tetapi sangat wajar merupakan kumpulan orang berdosa. Ada yang sadar sehingga bersekutu untuk mau berubah. Ada juga yang belum, tetapi tetap mau ikut. Sangat wajar. Cara menghilangkan rasa tidak layak bukan dengan menghindari dari persekutuan atau menyimpan di dalam diri sendiri, itu sekedar bom waktu. Berbagi dalam persekutuan adalah obat. Tentu yang perlu dilakukan adalah menyelesaikannya dengan Allah. Dia sangat mengasihi kita. Kita juga perlu sharing dengan orang lain. Tidak ada manusia satupun yang tidak butuh orang lain. Hanya akan ada ledakan seperti bom waktu yang merugikan diri sendiri dan orang lain jika kita tidak membagi apa yang ada dalam pikiran kita kepada orang lain.



Dalam 1 hari gue tertegur dengan 2 cara. Pagi dalam kotbah GI. Michele, malamnya dari buku ini.
Inilah mengapa gue merasa bahwa Allah hadir dalam setiap aspek hidup kita, Dia mengerti kondisi hati kita, dia terus menolong kita dan bersuara melalui media apapun kepada kita.
Dimanapun gue berada, gue percaya disitu pula Tuhan beserta gue. Dia menjadi “alarm” saat “kerohanian gue udah kebablasan tidurnya”, dia menjadi “rem” saat “gue terus berjalan asik dengan dunia gue sendiri tanpa gue sadari di depan gue udah ada jurang maut”

Thanks to GI. Michele dan ka Godlif. Saya sangat terberkati.

Gue jadi inget lagu ini


Worthy is the Lamb - Hillsong

Jika kita pernah merasa tidak layak, kita hanya harus ingat bagaimana Dia datang dan memberikan anugerah yang menakjubkan. Kita layak bagi-Nya.

All pictures credit by google

Tidak ada komentar: